^_^

Sabtu, 08 November 2008

kaca spion (oleh Andi F. Noya)

Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan Soemantri
Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu hari ada
kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana . Bukan untuk baca
buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar perpustakaan. Gado-gado
yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun baru dua tiga suap, saya
merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh dari bayangan masa lalu.
Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat sampai piringnya mengkilap,
kini rasanya amburadul. Padahal ini gado-gado yang saya makan dulu.
Kain penutup hitamnya sama. Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa
rasanya jauh berbeda? Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan
kepada istri. Bukan soal rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya gundah.

Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu mampir ke
perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit saya. Selain
karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari buku-buku wajib yang
tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan buku membuat saya
merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua jam saya di sana . Jika
masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang saya minati. Bau harum buku,
terutama buku baru, sungguh membuat pikiran terang dan hati riang.
Sebelum meninggalkan perpustakaan, biasanya saya singgah di gerobak
gado-gado di sudut jalan, di luar pagar. Kain penutupnya khas, warna
hitam. Menurut saya, waktu itu, inilah gado-gado paling enak seantero
Jakarta . Harganya Rp 500 sepiring sudah termasuk lontong. Makan
sepiring tidak akan pernah puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah
satu piring lagi. Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja
di Majalah TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia .
Kemudian pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah
itu menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat
hingga menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.

Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado di sudut
jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis, saya menjadi
gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya utarakan kegundahan
tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan tidak lagi menjadi diri
saya sendiri. Padahal sejak kecil saya berjanji jika suatu hari kelak
saya punya penghasilan yang cukup, punya mobil sendiri, dan punya rumah
sendiri, saya tidak ingin berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong
karenanya.

Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya
di Surabaya. .. Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang
sangat membekas dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya
sembilan tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak
bermain bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah
mobil. Kaca spion mobil itu patah.

Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10 kilometer saya
tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya. Sesampai di rumahsaya
langsung bersembunyi di bawah kolong tempat tidur. Upaya yang
sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya tinggal di sebuah garasi
mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu oleh pemiliknya disulap
menjadi kamar untuk disewakan kepada kami. Dengan ukuran kamar yang
cuma enam kali empat meter, tidak akan sulit menemukan saya. Apalagi
tempat tidur di mana saya bersembunyi adalah satu-satunya tempat tidur
di ruangan itu. Tak lama kemudian, saya mendengar keributan di
luar.Rupanya sang pemilik mobil datang. Dengan suara keras dia
marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya dia meminta ganti rugi atas
kerusakan mobilnya.

Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca spion mobilnya. Saya ingat harga kaca
spion itu Rp 2.000. Tapi uang senilai itu, pada tahun 1970, sangat
besar. Terutama bagi ibu yang mengandalkan penghasilan dari menjahit
baju. Sebagai gambaran, ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per
potong. Satu baju memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order
jahitan tidak menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma
satu. Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami - ibu, dua kakak,
dan saya - harus bisa bertahan hidup sebulan.

Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut. Setiap akhir
bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk mengambil uang.
Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu harus menyisihkan uang
untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada habis-habisnya. Setiap akhir bulan,
saat orang itu datang untuk mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di
mata saya dia begitu jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca
spion mobil baginya? Tidakah dia berbelas kasihan melihat
kondisi ibu dan kami yang hanya menumpang di sebuah garasi? Saya tidak habis
mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat wajah ibu juga
gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya benci pemilik mobil
itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil mahal. Saya benci orang
kaya.

Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan
ban mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran
saya... Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan
orang-orang kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang
gelasan ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik,
diam-diam benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa
lari. Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada
dendam yang terbalaskan.

Sampai remaja perasaan itu masih ada.
Saya muak melihat orang-orang kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa
semua orang yang naik mobil mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak
punya belas kasihan. Mereka tidak punya hati nurani.

Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa kuliah
begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado itu tidak
enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang sudah berubah.
Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya utarakan kepada istri.
Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak usah merasa bersalah. Kalau
gado-gado langgananmu dulu tidak lagi nikmat, itu karena sekarang kamu
sudah pernah merasakan berbagai jenis makanan.. Dulu
mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai
wartawan, kamu punya kesempatan mencoba makanan yang enak-enak.
Citarasamu sudah meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap
gundah, istri saya mencoba meyakinkan, "Kamu berhak untuk itu... Sebab
kamu sudah bekerja keras."

Tidak mudah untuk menghilangkan perasaan bersalah itu.
Sama sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua
orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji yang
saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut perasaan saya
tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya setelah makan
gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa gado-gado yang
berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi sombong.
Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
spionnya saya tabrak.

Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan
dalam hati. Walau dalam kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian.
Salah satunya ketika mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang.
Penumpang dan orang yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik,
ketika jalanan macet, ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat
untuk tidak marah. Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang
menabrak saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng
adalah seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah
anaknya. Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena
melihat mobil saya penyok..

Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah yang merefleksikan ketakutan akan
akibat yang harus mereka tanggung. Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut
dan sikunya, berkali-kali meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan
mengabaikan lukanya, dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar
saya tidak menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu.
Pucat pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang
apa yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih
kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok berbanding
beban yang harus mereka pikul. Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah
berada di posisi mereka. Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang
mereka rasakan. Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian. Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang lahir dari pengalaman hidup yang
pahit.

Tidak ada komentar: